Epidemiologi Re Emerging Japanese Encephalitis

Vektor Japanesse Encephalitis 
Saya tertarik untuk mengulas penyakit japanese enchephalitis ketika saya membaca sebuah headline di media koran yang membahas penyakit ini di halaman muka dengan judul yang cukup menarik yaitu awas nyamuk ganas model baru. Kalau kita melihat kebelakang penyakit ini sebenarnya bukan penyakit baru ataupun jenis nyamuk ganas baru, penyakit ini merupakan re-emerging disease atau yang biasa disebut resurging disease yaitu wabah penyakit menular yang muncul kembali setelah penurunan yang signifikan dalam insiden dimasa lampau. 

EPIDEMIOLOGI JAPANESE ENCEPHALITIS

Penderita penyakit japanese encephalitis pertama kali ditemukan di Jepang pada tahun 1871, namun isolasi penyebab penyakit ini baru berhasil pada tahun 1933 dengan nama Japanese "B" encephalitis (HAYASHI, 1934) . Virus japanese enchephalitis telah ditemukan hampir di semua negara Asia, termasuk Indonesia (VAN PEENEN et al., 1975a ; b). Di Indonesia kasus japanese enchephalitis pertama kali dilaporkan oleh Kho et al. (1972) berdasarkan gejala klinis dan terdapatnya antibodi penghambat aglutinin (HI) terdapat virus Nakayama Japanese encephalitis dalam darah orang penderita. Van Peenen et al. (1974a) berhasil mengisolasi virus japanese enchephalitis pertama kali dari pool nyamuk Culex tritaeniorhynchus yang dikoleksi dari sekitar kandang babi di Kapuk, Tangerang.

Distribusi Secara Geografis Penyakit Japanese Encephalitis

Indonesia merupakan negara kepulauan dan negara agraris. Sebagian besar mata pencaharian penduduk adalah bertani, seperti menanam padi di  sawah yang merupakan habitat yang paling baik bagi perkembangbiakan nyamuk termasuk vektor JE . Sebagai negara tropis dan negara agraris, Indonesia memiliki hamparan sawah yang luas dengan populasi yang padat, yang apabila disertai dengan banyaknya populasi babi di sekitarnya, maka akan sangat beresiko munculnya wabah (meningkatnya kejadian) JE pada manusia .

Menurut Kanamitsu et al., (1979) vektor JE terdapat di seluruh Indonesia, tetapi di sebelah timur garis Wallace kecuali Lombaok, antibody terhadap JE pada orang sangat jarang teradapat. Berdasarkan fakta ini garis Wallace merupakan batas penyebaran virus JE ke sebelah timur Indonesia. Tetapi perkembangan terakhir menunjukan bahwa ada kemungkinan virus JE ini telah menyebar ke bagian timur Indonesia (Poerwosoedarmo et al.,(1996).


Di indonesia sendiri, upaya pengendalian penyakit Japanese Encephalitis terus dilakukan bersama dengan upaya pengendalian DBD dan Chikungunya dimana nyamuk menjadi vektor utamanya. Japanese Encephalitis  kasusnya sporadis terjadi di beberapa wilayah di Indonesia, dan selalu menjadi ancaman karena faktor risiko vektor dan kondisi lingkungan yang buruk terdapat disekitar masyarakat. Kementerian Kesehatan, melalui Subdit Arbovirosis Direktorat Pengendalian Penyakit Bersumber  Binatang sedang melakukan penguatan surveilans japanese enchephalitis di 8 Provinsi yaitu Bali, Kalbar, Sulut, NTT, Sumut, Maluku, Jateng dan NTB, dan akan dikembangkan di Provinsi lainnya. Hasil surveilans JE di 8 Provinsi tersebut, tahun 2014 dari 100 sampel AES 12,2% diantaranya positif JE dan tahun 2015 dari 100 sampel AES positif JE 15,7%. Sebanyak 30-40% kasus JE berakhir dengan kematian, sedangkan 60-70% sembuh dengan gejala sisa dari ringan hingga berat.


Referensi :


Indrawati Sendow dan Sjamsul Bahri.2005.Perkembangan Japanesse Enchepalitis Di Indonesia. Balai Penelitian Veteriner.
Upik Kesumawati Hadi.1999.Penanganan Japanese Encephalitis/Hendra-like Encephalitis Ditinjau Dari Segi Epidemiologi. Fakultas Kedokteran Hewan Institus Pertanian Bogor
http://www.who.int/biologicals/vaccines/japanese_encephalitis/en/
http://pppl.depkes.go.id/focus?id=1606
Previous
Next Post »